Sebagaimana kita saksikan pada bulan ini, Rabi’ul Awwal, sebagian besar kaum muslimin ramai-ramai dan secara serempak melakukan suatu amalan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekaligus sebagai wujud nyata kecintaan kepada beliau. Dalam bahasa Jawa disebut Maulidan.Puncak acara ini jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Ada satu “amalan wajib” yang harus dikerjakan dalam acara ini, yaitu membaca kitab Maulid al-Barzanji,
Akan tetapi, sangat disayangkan ternyata sebagian besar orang yang turut hadir dalam majelis Maulid tersebut tidak mengetahui makna yang mereka baca tersebut/sekedar ikut-ikutan. Sebaliknya, orang yang mengetahui maknanya tidak mengetahui bahwa di dalamnya terdapat kalimat-kalimat yang mengandung kesyirikan. Dan kesyirikan di sini bukan sekedar syirik ashghar (syirik kecil), melainkan syirik akbar (syirik besar). Wal iyaadzubillah. Semoga Allah ta’alasenantiasa menjauhkan kita dari perbuatan dosa yang bisa mengekalkan manusia dari adzab neraka jika pelakunya belum bertaubat selama hidup di dunia.
Agar pembahasan tidak panjang lebar, maka di sini saya tidak akan menjelaskan tentang sejarah maulid, akan tetapi saya hanya akan menjelaskan apa yang ada dalam kitab Maulid al-Barzanji dan hal yang berhubungan dengannya. Adapun rujukan saya adalah kitab Maulid al-Barzanji yang diterjemahkan oleh Abu Ahmad Najieh. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penjelasan berikut ini.
Siapakah al-Barzanji?
Orang yang membaca kitab Maulid al-Barzanji kebanyakan tidak mengetahui tentang al-Barzanji. Diantara mereka menganggap al-Barzanji adalah nama buku itu sendiri. Yang lainnya menganggap bahwa al-Barzanji adalah nama acara itu sendiri, sehingga orang Jawa menyebutnya dengan Berjanjen. Dan sebagian yang lain tidak tahu menahu (cuek) tentang al-Barzanji, yang penting mengikuti acara tersebut dengan “khusyuk”.
Perlu anda tahu, bahwa al-Barzanji adalah penulis kitab Maulid al-Barzanji. Nama lengkap beliau adalah Ja’far bin Hasan bin Abdil Karim bin Muhammad bin Abdur Rasul al-Barzanji al-Madani. Al-Barzanji diambil dari nama daerah kelahirannya. Beliau hidup sekitar abad ke-12 Hijriyah. Lahir pada bulan Sya’ban dan wafat tahun 1187 H (1764 M).
Adapun isi dari kitab tersebut sebenarnya adalah kisah/sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ditulis dalam bait-bait prosa/syair-syair yang ditambah dengan pujian-pujian yang sangat berlebihan terhadap Nabi dan do’a-do’a.
Kenapa Harus Membaca Kitab Maulid al-Barzanji?
Kalau kita mau jujur, sebenarnya kitab yang menjelaskan sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya kitab Maulid al-Barzanji, akan tetapi sangat banyak sekali. Bahkan kitab Maulid al-Barzanji bukanlah kitab sejarah Nabi yang lengkap yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi, akan tetapi hanya sebatas ringkasan. Di samping kekuatan pendalilannya sangatlah lemah, kitab ini hanya berisi tentang pengkhabaran tanpa disertai dengan dalil. Sehingga, terdapat penyebutan sejarah yang di dalamnya tidak bisa dibuktikan keshahihannya dan keakuratannya. Bahkan kisah-kisah di dalamnya tidak bersanad. Dan lebih parahnya lagi, ketika ditemukan di dalamnya kalimat-kalimat yang mengandung kesyirikan.
Jadi, jika pembaca ingin mengetahui sejarah kehidupan Nabi secara lengkap tidak harus membaca kitab Maulid al-Barzanji. Bukankah di sana ada kitab-kitab sejarah kehidupan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang amat lengkap dan disertai dengan riwayat-riwayat yang shahih? Maka alangkah baiknya jika kita merujuk kepada kitab-kitab sirah/sejarah tersebut. Sehingga, kita bisa memahami sejarah itu dengan runtut tanpa terpotong-potong dari awal hingga akhir. Dan saat ini kitab-kitab tersebut sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diantaranya Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfury, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan lain-lain.
Kalimat-kalimat Yang Mengandung Kesyirikan
Syirik secara bahasa adalah menyekutukan/meyamakan/menandingi. Sedangkan secara syari’at berarti menyekutukan/menyamakan, bahkan menandingi Allah dengan selain-Nya dalam hal yang menjadi kekhususan Allah, baik dalam uluhiyah-Nya, rububiyyah-Nya, ataupun sifat-sifat-Nya.
Kesyirikan ini bisa dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Bisa dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi (tidak nampak). Bisa dilakukan dengan perbuatan ataupun bisa juga dengan perkataan. Dan apapun bentuk kesyirikan tersebut, maka dapat menghapus segala amalan pelakunya dan bagi siapa saja yang belum bertaubat ketika di dunia, maka berhak mendapatkan adzab yang pedih di akherat. Wal iyaadzubillaah.
Dalam kitab Maulid al-Barzanji tersebut, terdapat beberapa kalimat yang dengannya penulis sebenarnya ingin memuji-muji Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, ternyata pujian-pujian di dalamnya terlalu berlebihan sehingga menjerumuskan kepada kesyirikan.
Saya tidak akan menyebutkan semua kalimat yang mengandung kesyirikan atau yang menyimpang dari aturan dien ini dalam kitab tersebut, akan tetapi hanya beberapa kalimat saja dengan disertai bantahan singkat dan mudah-mudahan hal ini bisa menjadi koreksi bagi para pembacanya selama ini.
Diantara kalimat-kalimat tersebut:
أنت نور فوق نور
Engkau (Muhammad) adalah cahaya di atas cahaya.
Bantahan:
Allah ta’ala sendiri telah berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.CAHAYA DI ATAS CAHAYA (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur : 35)
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala mengatakan bahwa DIA ADALAH CAHAYA DI ATAS CAHAYA. Lalu dalam hal ini apakah anda akan menjadikan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai tandingan Allah ta’ala? Padahal Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri ketika ditanya oleh seorang shahabatnya:
يا رسول اللّه، أي الذنب أعظم؟ قال: «أن تجعل للّه ندا وهو خلقك»
“Ya Rasulullah, apa dosa yang paling besar itu?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam bait yang lain disebutkan:
عبدك المسكين يرجو فضلك الجم الغفير
فيك قد أحسنت ظني يا بشير يا نذير
Hambamu (Muhammad) yang miskin mengharapkan kelebihanmu yang berlimpah ruah.
Sangka baik tetap ada padamu; wahai Nabi pembawa kabar gembira, wahai Nabi pembawa peringatan.
Bantahan:
Ternyata niat baik seseorang belum tentu berbuah kebaikan. Namun bisa jadi sebaliknya, akan membuahkan kecelakaan yang sangat fatal. Sebagaimana penulis kitab Maulid al-Barzanji ini. Niat hati ingin memuji-muji Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaannya terhadap beliau, namun yang terjadi malah menjerumuskan dirinya ke dalam syirik akbar.
Dalam bait syair di atas, penulis mengatakan: “Hambamu (Muhammad) yang miskin.”,berarti beliau menghambakan dirinya kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dalam banyak ayat Allah ta’ala mengatakan bahwa manusia adalah hamba-hamba-Nya dan hanya kepada Allah-lah manusia itu seharusnya menghambakan dirinya.
Bahkan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri dengan tegas mengatakan:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah ‘Abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR. al-Bukhari)
Sebagaimana kita juga lihat nasab pengarang kitab ini (al-Barzanji) di atas, terutama kakeknya yang bernama Abdur Rasul. Penamaan ini juga merupakan penamaan yang sangat bathil. Dan nama-nama semisal ini ternyata sering dipakai oleh kalangan Syi’ah Rafidhah yang notabene mereka adalah kalangan penyembah kubur.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita lewat hadits beliau:
لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ أَطْعِمْ رَبَّكَ وَضِّئْ رَبَّكَ اسْقِ رَبَّكَ وَلْيَقُلْ سَيِّدِي مَوْلَايَ وَلَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي وَغُلَامِي
“Janganlah seorang dari kalian memerintahkan (budaknya) dengan kalimat; Hidangkanlah makanan untuk rabb kamu, wudhukanlah rabbmu, sajikanlah minuman untuk rabbmu, tapi hendaklah dia berkata dengan kalimat sayyidku, maulaku (pemeliharaku). Dan janganlah seorang dari kalian mengatakan ‘abdiy (budak laki-laki) ku, atau amatiy (budak perempuan) ku tapi katakanlah: pemudaku, pemudiku dan ghulamku.” (HR. al-Bukhari)
Artinya, jika tidak boleh mengatakan ‘abdiy’ (hambaku), maka tidak diperbolehkan juga mengatakan ‘abduka’ (hambamu) kepada orang lain walaupun kepada seorang Nabi sekalipun, sebab hal ini hanya khusus untuk Allah ta’ala. Wallaahu ta’ala a’lam.
Kemudian kalimat berikutnya: “mengharapkan kelebihanmu yang berlimpah ruah.”
Padahal, hanya kepada Allah ta’ala saja orang-orang yang beriman itu berharap. Dalam QS. al-Insyirah dengan sangat jelas Allah ta’ala berfirman:
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah : 8)
Dalam ayat yang lain juga disebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 218)
Disebutkan pula:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’ : 57)
Pada bait yang lain:
فأغثني و أجرني يا مجير من سعير
يا غياثي يا ملاذي في مهمات الامور
Tolonglah aku, dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sya’ir.
Wahai penolongku, wahai pelindungku. Pada kejadian yang menjadi marabahaya.
Bantahan:
Ketika membaca arti dari sya’ir di atas mungkin di antara anda yang pernah rutin membaca atau masih melakukan kegiatan tersebut, akan merasa kaget. Ternyata artinya sangat bertentangan dengan ayat yang biasa dibaca oleh kaum muslimin minimal 17 kali dalam seharinya, yaitu ayat yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah : 5)
Ya, hanya kepada Allah saja kita meminta pertolongan. Bukan kepada manusia walaupun itu ada seorang nabi yang mulia dan bukan pula kepada malaikat yang tak memiliki dosa.
Kalimat selanjutnya tentunya lebih “ngeri”, pembaca yang baru menyadari makna kalimat ini bagai disambar petir. Bagaimana tidak? Sedangkan pengarang kitab tersebut menuliskan, “Wahai pelindung dari neraka Sya’ir”. Subhaanallaahu ‘ammaa yusrikuun.
Padahal Allah ta’ala telah mengancam dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَولِيَاء اللَّهُ حَفِيظٌ عَلَيْهِمْ وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِوَكِيلٍ
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi (perbuatan) mereka; dan kamu (ya Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka.” (QS. Asy-Syura : 6)
Dalam ayat selanjutnya Allah ta’ala membantah:
أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء فَاللَّهُ هُوَ الْوَلِيُّ وَهُوَ يُحْيِي المَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Asy-Syura : 9)
Lebih tegas lagi dibantah dalam ayat ini:
أَفَمَنْ حَقَّ عَلَيْهِ كَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنتَ تُنقِذُ مَن فِي النَّارِ
“Apakah (kamu hendak merubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan adzab atasnya? Apakah kamu (Muhammad) akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka?” (QS. Az-Zumar : 19)
Tentu pertanyaan Allah dalam ayat di atas tak membutuhkan jawaban (pertanyaan retoris). Artinya, Nabi Muhammad tak mampu menyelamatkan manusia yang terjebur dalam neraka.
Akan tetapi, hanya Allah ta’ala yang tidak ada sekutu bagi-Nya yang mampu menyelamatkan manusia dari kekalnya adzab neraka. Sebagaimana Dia menyatakan sendiri:
- §NèO ÓÉdfuZçR tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# âxtR¨r úüÏJÎ=»©à9$# $pkÏù $wÏWÅ_ ÇÐËÈ
“Kemudian Kami (Allah) akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dhalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam : 72)
Juga dalam firman-Nya:
È@è% ª!$# Nä3ÉdfuZã $pk÷]ÏiB `ÏBur Èe@ä. 5>öx. §NèO öNçFRr& tbqä.Îô³è? ÇÏÍÈ
“Katakanlah: ‘Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.” (QS. Al-An’am : 64)
Uraian singkat di atas, semoga membuka mata hati siapa saja yang mau menggunakan akalnya dengan baik untuk mentadabburi ayat-ayat Allah al-Qur’aniyyah. Sehingga dengannya Allah ta’ala memberikan petunjuk untuk menjauhi dari segala bentuk kesyirikan yang nampak maupun tidak nampak. Aamiin.
Maulidan Bukti Cinta Kepada Rasul?
Cinta sejati butuh bukti. Tanpa bukti, maka ucapan cinta tidak ada arti. Begitu pula ucapan cinta seorang muslim kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hanya akan menjadi bualan-bualan kosong tak berarti jika tidak ada realisasi (praktek) dalam kehidupan sehari-hari.
Realisasi cinta Rasul itu telah dijelaskan oleh Allah ta’ala secara gambling dalam firman-Nya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, MAKA IKUTILAH AKU, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)
Mengomentari ayat di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di hafidzahullaah mengatakan, “Jika kalian mengaku-ngaku berada pada kedudukan yang tinggi (mencintai Allah) dan tidak ada kedudukan yang lebih tinggi darinya, maka tidak cukup hanya sekedar pengakuan saja. Akan tetapi pengakuan itu harus jujur. Adapun tanda-tanda jujurnya pengakuan tersebut adalah mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam segala aspek, baik dalam perkataan maupun perbuatannya. Dalam masalah ushuludin (pokok agama) ataupun furu’ (cabang). Dalam hal yang nampak ataupun tersembunyi. Maka barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kejujuran (kebenaran) pengakuan cintanya kepada Allah ta’ala. Sehingga Allah akan mencintainya dan mengampuni dosa-dosanya, merahmati dan meluruskan setiap gerak langkah dan diamnya. DAN BARANG SIAPA YANG TIDAK MENGIKUTI RASULULLAH, MAKA DIA BUKAN PECINTA ALLAH. Karena cinta kepada Allah, mewajibkan bagi pelakunya untuk mengikuti Rasul-Nya.”[1]
Seorang yang mencintai Rasul, berarti dirinya juga mencintai Allah. Dan sudah sangat jelas bagi kita bahwa realisasi kecintaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diwujudkan dengan membuat pujian-pujian dan dinyanyikan di dalam masjid, mengkhususkan membaca sejarah beliau pada bulan Rabi’ul Awwal tanpa mengetahui maknanya, membuat lagu-lagu tentang keagungan Nabi, ataupun yang lainnya, akan tetapi wujud kecintaan itu dengan MENGIKUTI SUNNAH (AJARAN) RASULULLAH. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik, paling mulia dan paling bertaqwa kepada Allah ta’ala, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali harus mengikutinya dalam segala aspek, baik aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. Tidak boleh menambah-nambahi sedikitpun dan tidak boleh mengurang-nguranginya juga.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (perjumpaan dengan) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab : 21)
Mudah-mudahan Allah ta’ala berkenan mengumpulkan kita dengan beliau di Firdausil A’la kelak. Aammiin ya Rabbal ‘aalamiin. Wallaahu ta’ala a’lam bish shawwab.
Bumi Allah. Ahad, 25 Syawwal 1434 H / 1 September 2013 M.
[1] Tafsiir al-Kariim ar-Rahman, Abdurahman as-Sa’di. Muassasah ar-Risaalah. hal. 128.